Rabu, 28 September 2011

Ulos

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari

Ulos yang dipakai penari Sigale gale.
Ulos atau sering juga disebut kain ulos adalah salah satu busana khas Indonesia. Ulos secara turun temurun dikembangkan oleh masyarakat Batak, Sumatera. Dari bahasa asalnya, ulos berarti kain. Cara membuat ulos serupa dengan cara membuat songket khas Palembang, yaitu menggunakan alat tenun bukan mesin.
Warna dominan pada ulos adalah merah, hitam, dan putih yang dihiasi oleh ragam tenunan dari benang emas atau perak. Mulanya ulos dikenakan di dalam bentuk selendang atau sarung saja, kerap digunakan pada perhelatan resmi atau upacara adat Batak, namun kini banyak dijumpai di dalam bentuk produk sovenir, sarung bantal, ikat pinggang, tas, pakaian, alas meja, dasi, dompet, dan gorden.
Ulos juga kadang-kadang diberikan kepada sang ibu yang sedang mengandung supaya mempermudah lahirnya sang bayi ke dunia dan untuk melindungi ibu dari segala mara bahaya yang mengancam saat proses persalinan.
Sebagian besar ulos telah punah karena tidak diproduksi lagi, seperti Ulos Raja, Ulos Ragi Botik, Ulos Gobar, Ulos Saput (ulos yang digunakan sebagai pembungkus jenazah), dan Ulos Sibolang.

Simping

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
?Simping (skalop)
Scallop eyes.jpg
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan: Animalia
Filum: Mollusca
Kelas: Bivalvia
Ordo: Ostreoida
Famili: Pectinidae
genus
Untuk sejenis makanan, lihat simping (makanan)
Simping ialah moluska bivalvia dari famili Pectinidae yang hidup di perairan laut, kosmopolitan (dapat ditemui di semua perairan bumi), dan bernilai ekonomi sebagai sumber makanan dan bahan kerajinan. Simping dianggap kerang yang paling aman untuk dimakan mentah. Beberapa simping yang warna cangkangnya terang dijadikan bahan baku kerajinan dari kerang.Racun, bakteri, dan virus cenderung terakumulasi di tubuhnya dalam proses penyaringan air laut oleh kerang-kerangan, namun pada simping bagian penyaring ini biasanya tidak dijumpai atau tereduksi .
Ammusium cristatum
Moluska bermanfaat
Coques.jpg
Hasil laut ("seafood")
Abalon
Remis
Kerang
Periwinkel
Kupang
Tiram
Simping

Cumi-cumi
Gurita
Sotong

Industri perikanan
Budidaya perairan


empang, Kutai Barat

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Jempang
—  Kecamatan  —
Negara  Indonesia
Provinsi Kalimantan Timur
Kabupaten Kutai Barat
Pemerintahan
 - Camat Pelsius Nengkalaq, SH,SE,MM
Luas 654,4 km²
Jumlah penduduk 10.290 jiwa
Kepadatan 15,7 jiwa/km²
Desa/kelurahan 12 kampung
Hasil Kerajinan Ulap Doyo.
Acara adat Pelas Danau Jempang di Danau Jempang.
Jempang adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur, Indonesia. Kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Penyinggahan di sisi utara, Kecamatan Bongan di sisi timur, Muara Pahu di sisi selatan, dan Bongan dan Muara Pahu di sisi barat.[rujukan?] Jempang merupakan sentra kerajinan Tenun Ikat Ulap Doyo.
Mata pencaharian penduduk adalah dari bidang pertanian, perikanan, perkebunan, peternakan, kerajinan rakyat, dan pertambangan.

Bangjja

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Bangjja
[[File:Korean pumkin congee-Hobakjuk-01.jpg|190px|alt=]]
Hangeul 방짜 / 유기
Hanja none /
Alih Aksara yang Disempurnakan bangjja / yugi
McCune–Reischauer pangtcha / yuki
Bangjja, juga dikenal degan nama yugi, adalah jenis kerajinan tangan perunggu yang berasal dari Korea. Set lengkap peralatan dari bangjja termasuk tempat makanan seperti piring atau mangkuk, sendok dan sumpit. Bangjja adalah produk yang unik karena memiliki perbedaan jumlah kandungan timah dan tembaga dengan produksi lain (Cu:Sn = 78:22), yakni mempunyai rasio timah yang lebih banyak, sementara rasio normal adalah 1/9. Cara pembuatan Bangjja telah lama ada dan masih dipraktekkan hingga kini. Karena keunikan komposisinya, bangjja dapat mensterilkan makanan yang ada di dalamnya daripada racun atau bahan kimia. Oleh sebab itu juga bangjja sejak lama dijadikan perangkat makan khusus bagi keluarga kerajaan di Korea. Makanan istana Korea (surasang) disajikan dengan perangkat bangjja.

[sunting] References

Batik Jombang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Batik adalah salah satu hasil kerajinan tangan yang berasal dari Indonesia. Hal ini juga penulis tulis dalam Tesis. Batik adalah kraftangan dari Indonesia yang pada amnya berasal dari daerah Yogyakarta, Solo, Pekalongan, Cirebon, Madura, Tuban dan lain-lain. Sedangkan batik Jombang baru berkembang pada tahun 2000-an. Jombang adalah salah satu nama daerah Tingkat II (Kabupaten/sub province/DO) yang berada di Propinsi Jawa Timur, Pulau Jawa, Indonesia.
Sejarah batik Jombang telah ditulis oleh Ibu Hajah Maniati, pemilik kedai batik “Sekar Jati Star”. Pada tanggal 17 Juni 2007, penulis berkunjung ke rumah beliau dan beliau menceritakan tentang sejarah dan proses batik Jombang. Beliau mengatakan bahawa batik merupakan salah satu bagian dari budaya yang dapat mencerminkan kepribadian bangsa, dimana batik sangat memerlukan ketrampilan, kepakaran, kreatifiti, keuletan, kesabaran dan wawasan yang luas serta apresiasi yang tinggi sehingga batik mempunyai nilai seni yang sangat tinggi dan berharga mahal.
Berdasarkan penjelasan tersebut saya (Hj. Maniati) mempunyai keinginan dan tekat yang besar untuk mulai belajar membatik, kerana masa saya muda dulu lagi dan sedang Sekolah Rakyat Perempuan (Darjah Rendah) pada tahun 1944, dimana uniform/pakaian sekolah masih memakai sarong dan kebaya batik (zaman penjajah Belanda). Pada masa itu di desa (kampung) Candi Mulyo kota Jombang banyak ibu-ibu dan remaja yang mempunyai ketrampilan/skill dan tekun membatik. Batik yang dihasilkan pada masa itu diberi nama Batik Pacinan bermotif kawung dengan warna merah bata dan hijau daun.

Daftar isi

[sembunyikan]

[sunting] Sejarah

Pada masa penjajahan Jepang, batik di Jombang mulai menghilang sendiri. Hal ini dikeranakan oleh susahnya untuk mendapatkan bahan baku dan berkurangnya pembatik. Pada tahun 1993 Hj. Maniati bersama putrinya mempunyai gagasan dan keinginan untuk membangkitkan dan melestarikan kembali tradisi membatik di kota Jombang. Untuk mewujudkan keinginan dan gagasan tersebut mereka bersilaturahmi ke kerabat yang lulus dari IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan atau maktab keguruan) bidang pengkhususan kerajinan tangan. Mereka mengajukan permohonan ke Kepala Desa (Kepala Kampung) untuk minta izin mengumpulkan ibu-ibu PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga) dan remaja guna membicarakan pelatihan (workshop) membatik dan Kepala Desa menyetujuinya.
Dari proses tersebut di atas maka Ibu Hj. Maniati, Ibu-ibu PKK dan para remaja memulai belajar membatik dengan jenis batik jumput (batik ikat) dan hasilnya cukup menggembirakan, sehingga semangat untuk membatik cukup tinggi.
Pada tahun 2000 Ibu Hj. Maniati dipanggil oleh Dinas Perindustrian Kabupaten Jombang untuk membicarakan pelatihan/kursus/workshop. Pada 8-10 Februari 2000 Ibu Hj. Maniati beserta putrinya mengikuti kursus Batik Tulis Warna Alami di Surabaya yang dilaksanakan oleh “Dinas Perindustrian Propinsi Daerah Tingkat I” Jawa Timur. Dari hasil kursus ini Ibu Hj. Maniati beserta putrinya dan ibu-ibu PKK semakin rajin membatik. Pada bulan Desember 2000 Ibu Hj. Maniati meresmikan usaha batik dengan nama “Sekar Jati Star” di desa Jatipelem. Pada waktu yang sama Bapak Bupati (ketua daerah/DO) memutuskan untuk mengadakan kursus membatik di desa Jatipelem dengan peserta dari perwakilan wilayah kecamatan (mukim) se-kabupaten Jombang. Pada 16 Desember 2004, Ibu Hj. Maniati mendapat izin usaha tetap dari pemerintah dengan nama “Batik Tulis Sekar Jati Star” dengan nombor SIUP: 00423/13-19/SIUP-K/IX/2004. Selain Ibu Hj. Maniati batik Jombang juga dikembangkan oleh Ibu Kusmiati Slamet. Dengan modal awal Rp 2 juta, tahun 2002 mulailah Ibu Kusmiati Slamet dari Desa Jatipelem, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang mengambil tenaga kerja dari para tetangganya sendiri untuk membuat berbagai model dan motif batik dengan khas paten relief Candi Rimbi. Awalnya, prakarsa ini muncul atas dorongan tetangga yang ingin mencari kesibukan dengan belajar membuat batik dengan motif khas Kerajaan Majapahit. Alasannya, karena Jombang dulunya merupakan daerah pecahan Mojokerto, nenek moyangnya sama-sama berasal dari Majapahit.
Untuk mengembangkan batik Jombang, Pemerintah Jombang mengadakan workshop batik di Jombang. Berkat bantuan dari pemerintah dan didorong dengan semangat besar, batik Ibu Kusmiati Slamet menjadi berkembang dan terkenal tidak hanya di kalangan pemerintahan namun telah berkembang ke luar negeri.

[sunting] Motif

Motif batik Jombang “merah”
Pada awalnya motif batik Jombang menggunakan motif alam sekitar, yaitu dengan motif bunga melati, tebu, cengkeh, pohon jati dan lain sebagainya. Setiap motif yang diciptakan biasanya diberi nama, seperti cindenenan, peksi/burung hudroso, peksi manya dan turonggo seto (kuda putih). Kemudian Ibu Hj. Maniati bersama Ibu Bupati kabupaten Jombang (isteri Bupati/DO), bersepakat/setuju bahawa “Motif Batik Tulis Khas Jombang” diambil dari salah satu relief Candi Arimbi yang terletak di desa Ngrimbi, Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang. Candi Arimbi merupakan candi peninggalan kerajaan Majapahit.
Motif batik Jombang “hijau”
Pada penghujung tahun 2005, penulis bertemu dengan Bapak Bupati Jombang untuk membicarakan motif batik khas Jombang. Dimana motif batik ini akan digunakan sebagai seragam para pegawai kabupaten Jombang. Ketika itu Bapak Bupati menunjukkan dua buah baju batik dengan motif relief Candi Arimbi. Baju tersebut bermotif batik warna merah dan yang satu lagi bermotif batik warna hijau. Untuk seragam pegawai di Jombang lebih baik menggunakan baju batik yang motifnya berwarna merah dan Bapak Bupati menyetujuinya.
Motif batik Jombang lainnya
Penjelasan tentang batik Jombang dijelaskan juga oleh Ibu Kusmiati Slamet bahwa motif batik Jombang menggunakan motif dengan khas paten relief Candi Rimbi, yaitu model candi yang melambangkan pintu gerbang masuk Kerajaan Majapahit. Sedang motif yang dikembangkan berupa motif tawang dan kaning dengan warna dasar yang menekankan pada kehijauan dan kemerahan yang melambangkan kota Jombang (ijo abang (hijau merah)).

[sunting] Proses Batik

Proses batik Jombang secara umum masa dengan proses batik di daerah-daerah lain di Indonesia. Proses batik Jombang diantaranya adalah menggunakan teknik batik tulis batik skrin/printing, dan batik ikat. Kain yang digunakan juga beragam, seperti kain katun, ATBM, sutra, primisima.

[sunting] Pemasaran

Saat ini untuk memenuhi permintaan pasar, Ibu Hj. Maniati menjual batik dalam bentuk kemeja pria (baju lengan panjang untuk lelaki). Untuk kemeja batik berbahan standar dijual Rp 150,000.00, sedangkan untuk bahan sutra Rp 300,000.00. Selain itu beliau juga melayani pesanan dan yang pesan boleh membawa contoh. Untuk melayani hal tersebut Ibu Hj. Maniati mempunyai 27 orang tenaga kerja. Untuk mengembangkan batik Jombang, berbagai usaha dilakukan oleh Ibu Hj. Maniati. Mulai dari mendirikan kedai sampai ke koperasi.
Berebeda dengan pemasaran Ibu Hj. Maniati, Ibu Kusmiati Slamet melakukan pekerjaan dilakukan dengan sistem borongan sesuai keperluan yang diinginkan. Jika pesanan ramai, dalam sehari bisa melibatkan 20 tenaga kerja dengan hasil batikan antara 35 sampai 40 lembar kain. Upahnya pun bervariasi, untuk mewarna biasa diberi upah Rp 12.000,00 setiap yard, sedangkan untuk kegiatan nyanting, upahnya Rp 5.000,00 setiap yard.
Lalu munculah inisiatif untuk memberi label/brand pada batik Ibu Kusmiati. Melalui kesepakatan dengan pihak keluarga, akhirnya batik Kusmiati diberi merk “Litabena”. Litabena diambilkan dari sebagian dari nama keempat anaknya yang sudah besar. Li dari nama Lilik, Ta dari nama Rita, Be dari nama Benny, dan Na dari nama Nanang. Ibu Kusmiati Slamet berharap dengan nama itu usaha batiknya dapat berkembang menjadi besar. Pada saat ini produk batik Litabena telah beredar sampai ke Jakarta, Kalimantan, Palembang dan Lampung.

[sunting] Fungsi Batik Jombang

Seperti guna kain batik pada umumnya, batik Jombang juga digunakan untuk pakaian harian, terutama untuk baju atau pakaian-pakaian resmi. Namun demikian, setakat ini kain batik di Jombang termasuk kain yang mempunyai nilai harga yang mahal terutama di wilayah Jombang, sehingga kain batik kurang digunakan pakaian-pakaian untuk kerja kasar ataupun pakaian tidur. Secara khusus batik Jombang digunakan untuk seragam para pegawai di Jombang setiap hari Jumat ataupun Sabtu. Mulai 2006/2007 digunakan juga untuk para pelajar diseluruh wilayah Jombang, pada hari Rabu dan Kamis.

Dancheong

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Dancheong (단청) adalah kerajinan tradisional Korea dalam membuat dekorasi dengan cara melukis bangunan dan memberikan pola-pola untuk memperindahnya.[1][2] Warna-warna yang dipilih adalah merah, biru, kuning, hijau, hitam dan putih yang dilukiskan pada berbagai bangunan yang terbuat dari kayu, batu, atau beton.[2]
Mulai pada masa Dinasti Joseon (1392-1910), teknik dancheong mengalami perkembangan pesat dengan pemilihan warna yang semakin meriah, pola komposisi yang rumit untuk membuat bangunan tampak lebih mewah.[2] Terdapat beberapa jenis teknik dancheong berdasarkan bagian-bagian bangunan yang diwarnai.[2] Sistem membuat pola dibedakan pula menjadi 4 tipe berdasarkan karakter struktur dan posisi bangunan.[2]

Kain tapis

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Kain tapis
Kain tapis merupakan salah satu jenis kerajinan tradisional masyarakat Lampung dalam menyelaraskan kehidupannya baik terhadap lingkungannya maupun Sang Pencipta Alam Semesta. Oleh sebab itu, munculnya kain tapis ini ditempuh melalui tahap-tahap waktu yang mengarah kepada kesempurnaan teknik tenun, maupun cara-cara memberikan ragam hias yang sesuai dengan perkembangan kebudayaan masyarakat.

Daftar isi

[sembunyikan]

[sunting] Suku bangsa Lampung

Masyarakat Lampung asli memiliki struktur adat yang tersendiri. Bentuk masyarakat hukum adat tersebut berbeda antara kelompok masyarakat satu dengan yang lainnya. Secara umum dapat dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu masyarakat adat Saibatin dan masyarakat adat Pepadun
Suku bangsa Lampung yang beradat Saibatin (Pesisir) terdiri dari :
  • Kepaksian Sekala Brak
  • Keratuan Melinting
  • Keratuan Balau
  • Keratuan Darah Putih
  • Keratuan Semaka
  • Keratuan Komering
  • Cikoneng Pak Pekon
Suku bangsa Lampung yang beradat Pepadun (Pedalaman) dapat digolongkan menjadi :
  • Abung Siwo Mego (Abung Sembilan Marga)
  • Mego Pak Tulang Bawang (Tulang Bawang Empat Marga)
  • Pubian Telu Suku (Pubian Tiga Suku)
  • Buay Lima Way Kanan (Way Kanan Lima Kebuayan)
  • Sungkay Bunga Mayang
Berdasarkan pembagian penduduk yang serba mendua ini maka Lampung dikenal sebagai Propinsi Sang Bumi Ruwa Jurai yang dapat diartikan "Bumi Yang Dua Dalam Kesatuan."
Di daerah Lampung dikenal berbagai peralatan dan perlengkapan adat yang melambangkan status seseorang yang ditandai dengan pemilikan sebuah kain adat yaitu Kain Tapis Lampung.

[sunting] Pengertian tapis Lampung

Kain tapis untuk pria, berwarna merah-hitam
Kain tapis adalah pakaian wanita suku Lampung yang berbentuk kain sarung terbuat dari tenun benang kapas dengan motif atau hiasan bahan sugi, benang perak atau benang emas dengan sistim sulam (Lampung; "Cucuk").
Dengan demikian yang dimaksud dengan Tapis Lampung adalah hasil tenun benang kapas dengan motif, benang perak atau benang emas dan menjadi pakaian khas suku Lampung. Jenis tenun ini biasanya digunakan pada bagian pinggang ke bawah berbentuk sarung yang terbuat dari benang kapas dengan motif seperti motif alam, flora dan fauna yang disulam dengan benang emas dan benang perak.
Tapis Lampung termasuk kerajian tradisional karena peralatan yang digunakan dalam membuat kain dasar dan motif-motif hiasnya masih sederhana dan dikerjakan oleh pengerajin. Kerajinan ini dibuat oleh wanita, baik ibu rumah tangga maupun gadis-gadis (muli-muli) yang pada mulanya untuk mengisi waktu senggang dengan tujuan untuk memenuhi tuntutan adat istiadat yang dianggap sakral. Kain Tapis saat ini diproduksi oleh pengrajin dengan ragam hias yang bermacam-macam sebagai barang komoditi yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi.

[sunting] Sejarah kain tapis Lampung

Kain tapis merupakan salah satu jenis kerajinan tradisional masyarakat Lampung dalam menyelaraskan kehidupannya baik terhadap lingkungannya maupun Sang Pencipta Alam Semesta. Karena itu munculnya kain Tapis ini ditempuh melalui tahap-tahap waktu yang mengarah kepada kesempurnaan teknik tenunnya, maupun cara-cara memberikan ragam hias yang sesuai dengan perkembangan kebudayaan masyarakat.
Menurut Van der Hoop disebutkan bahwa orang Lampung telah menenun kain brokat yang disebut nampan (tampan) dan kain pelepai sejak abad ke-2 Masehi. Motif kain ini ialah kait dan kunci (key and rhomboid shape), pohon hayat, dan bangunan yang berisikan roh manusia yang telah meninggal. Juga terdapat motif binatang, matahari, bulan serta bunga melati. Dikenal juga tenun kain tapis yang bertingkat, disulam dengan benang sutera putih yang disebut Kain Tapis Inuh.
Hiasan-hiasan yang terdapat pada kain tenun Lampung juga memiliki unsur-unsur yang sama dengan ragam hias di daerah lain. Hal ini terlihat dari unsur-unsur pengaruh taradisi Neolitikum yang memang banyak ditemukan di Indonesia.
Masuknya agama Islam di Lampung, ternyata juga memperkaya perkembangan kerajinan tapis. Walaupun unsur baru tersebut telah berpengaruh, unsur lama tetap dipertahankan.
Adanya komunikasi dan lalu lintas antar kepulauan Indonesia sangat memungkinkan penduduknya mengembangkan suatu jaringan maritim. Dunia kemaritiman atau disebut dengan zaman bahari sudah mulai berkembang sejak zaman kerajaan Hindu Indonesia dan mencapai kejayaan pada masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan islam antara tahun 1500 - 1700 .
Bermula dari latar belakang sejarah ini, imajinasi dan kreasi seniman pencipta jelas memengaruhi hasil ciptaan yang mengambil ide-ide pada kehidupan sehari-hari yang berlangsung disekitar lingkungan seniman dimana ia tinggal. Penggunaan transportasi pelayaran saat itu dan alam lingkungan laut telah memberi ide penggunaan motif hias pada kain kapal. Ragam motif kapal pada kain kapal menunjukkan adanya keragaman bentuk dan konstruksi kapal yang digunakan.

[sunting] Jenis tapis Lampung menurut asal pemakainya

Beberapa jenis kain tapis yang umum digunakan masyarakat Lampung Pepadun dan Lampung Saibatin adalah :

[sunting] Tapis Lampung dari Pesisir

  • Tapis Inuh
  • Tapis Cucuk Andak
  • Tapis Semaka
  • Tapis Kuning
  • Tapis Cukkil
  • Tapis Jinggu

[sunting] Tapis lampung dari Pubian Telu Suku

  • Tapis Jung Sarat
  • Tapis Balak
  • Tapis Laut Linau
  • Tapis Raja Medal
  • Tapis Pucuk Rebung
  • Tapis Cucuk Handak
  • Tapis Tuho
  • Tapis Sasap
  • Tapis Lawok Silung
  • Tapis Lawok Handak

[sunting] Tapis Lampung dari Sungkai Way Kanan

  • Tapis Jung Sarat
  • Tapis Balak
  • Tapis Pucuk Rebung
  • Tapis Halom/Gabo
  • Tapis Kaca
  • Tapis Kuning
  • Tapis Lawok Halom
  • Tapis Tuha
  • Tapis Raja Medal
  • Tapis Lawok Silung

[sunting] Tapis Lampung dari Tulang Bawang Mego Pak

  • Tapis Dewosano
  • Tapis Limar Sekebar
  • Tapis Ratu Tulang Bawang
  • Tapis Bintang Perak
  • Tapis Limar Tunggal
  • Tapis Sasab
  • Tapis Kilap Turki
  • Tapis Jung Sarat
  • Tapis Kaco Mato di Lem
  • Tapis Kibang
  • Tapis Cukkil
  • Tapis Cucuk Sutero

[sunting] Tapis Lampung dari Abung Siwo Mego

  • Tapis Rajo Tunggal
  • Tapis Lawet Andak
  • Tapis Lawet Silung
  • Tapis Lawet Linau
  • Tapis Jung Sarat
  • Tapis Raja Medal
  • Tapis Nyelem di Laut Timbul di Gunung
  • Tapis Cucuk Andak
  • Tapis Balak
  • Tapis Pucuk Rebung
  • Tapis Cucuk Semako
  • Tapis Tuho
  • Tapis Cucuk Agheng
  • Tapis Gajah Mekhem
  • Tapis Sasap
  • Tapis Kuning
  • Tapis Kaco
  • Tapis Serdadu Baris

[sunting] Jenis Tapis Lampung menurut pemakai

Tapis Jung Sarat
Dipakai oleh pengantin wanita pada upacara perkawinan adat. Dapat juga dipakai oleh kelompok isteri kerabat yang lebih tua yang menghadiri upacara mengambil gelar, pengantin serta muli cangget (gadis penari) pada upacara adat. Tapis Raja Tunggal
Dipakai oleh isteri kerabat paling tua (tuho penyimbang) pada upacara perkawinan adat, pengambilan gelar pangeran dan sutan.
Di daerah Abung Lampung Utara dipakai oleh gadis-gadis dalam menghadiri upacara adat.
Tapis Raja Medal
Dipakai oleh kelompok isteri kerabat paling tua (tuho penyimbang) pada upacara adat seperti : mengawinkan anak, pengambilan gelar pangeran dan sutan.
Di daerah Abung Lampung Utara tapis ini digunakan oleh pengantin wanita pada upacara perkawinan adat.
Tapis Laut Andak
Dipakai oleh muli cangget (gadis penari) pada acara adat cangget. Dipakai juga oleh Anak Benulung (isteri adik) sebagai pengiring pada upacara pengambilan gelar sutan serta dipakai juga oleh menantu perempuan pada acara pengambilan gelar sutan.
Tapis Balak
Dipakai oleh kelompok adik perempuan dan kelompok isteri anak seorang yang sedang mengambil gelar pangeran pada upacara pengambilan gelar atau pada upacara mengawinkan anak. Tapis ini dapat juga dipakai oleh muli cangget (gadis penari) pada upacara adat.
Tapis Silung
Dipakai oleh kelompok orang tua yang tergolong kerabat dekat pada upacara adat seperti mengawinkan anak, pengambilan gelar, khitanan dan lain-lain. Dapat juga dipakai pada saat pengarakan pengantin.
Tapis Laut Linau
Dipakai oleh kerabat isteri yang tergolong kerabat jauh dalam menghadiri upacara adat. Dipakai juga oleh para gadis pengiring pengantin pada upacara turun mandi pengantin dan mengambil gelar pangeran serta dikenakan pula oleh gadis penari (muli cangget). Tapis Pucuk Rebung
Tapis ini dipakai oleh kelompok ibu-ibu/para isteri untuk menghadiri upacara adat.
Di daerah Menggala tapis ini disebut juga tapis balak, dipakai oleh wanita pada saat menghadiri upacara adat.
Tapis Cucuk Andak
Dipakai oleh kelompok isteri keluarga penyimbang (kepala adat/suku) yang sudah bergelar sutan dalam menghadiri upacara perkawinan, pengambilan gelar adat.
Di daerah Lampung Utara tapis ini dipakai oleh pengantin wanita dalam upacara perkawinan adat.
Di daerah Abung Lampung Utara tapis ini dipakai oleh ibu-ibu pengiring pengantin pada upacara adat perkawinan. Tapis Limar Sekebar
Tapis ini dipakai oleh kelompok isteri dalam menghadiri pesta adat serta dipakai juga oleh gadis pengiring pengantin dalam upacara adat.
Tapis Cucuk Pinggir
Dipakai oleh kelompok isteri dalam menghadiri pesta adat dan dipakai juga oleh gadis pengiring pengantin pada upacara perkawinan adat.
Tapis Tuho
Tapis ini dipakai oleh seorang isteri yang suaminya sedang mengambil gelar sutan. Dipakai juga oleh kelompok orang tua (mepahao) yang sedang mengambil gelar sutan serta dipakai pula oleh isteri sutan dalam menghadiri upacara pengambilan gelar kerabatnya yang dekat.
Tapis Agheng/Areng
Dipakai oleh kelompok isteri yang sudah mendapat gelar sutan (suaminya) pada upacara pengarakan naik pepadun/pengambilan gelar dan dipakai pula oleh pengantin sebagai pakaian sehari-hari. Tapis Inuh
Kain tapis ini umumnya dipakai pada saat menghadiri upacara-upacara adat. Tapis ini berasal dari daerah Krui, Lampung Barat.
Tapis Dewosano
Di daerah Menggala dan Kota Bumi, kain tapis ini dipakai oleh pengantin wanita pada saat menghadiri upacara adat.
Tapis Kaca
Tapis ini dipakai oleh wanita-wanita dalam menghadiri upacara adat. Bisa juga dipakai oleh wanita pengiring pengantin pada upacara adat. Tapis ini di daerah Pardasuka Lampung Selatan dipakai oleh laki-laki pada saat upacara adat.
Tapis Bintang
Tapis Bintang ini dipakai oleh pengantin wanita pada saat upacara adat.
Tapis Bidak Cukkil
Model kain Tapis ini dipakai oleh laki-laki pada saat menghadiri upacara-upacara adat.
Tapis Bintang Perak
Tapis ini dapat dipakai pada upacara-upacara adat dan berasal dari daerah Menggala, Lampung Utara.

[sunting] Bahan dan peralatan tenun tapis

[sunting] Bahan dasar

Kain tapis Lampung yang merupakan kerajinan tenun tradisional masyarakat Lampung ini dibuat dari benang katun dan benang emas. Benang katun adalah benang yang berasal dari bahan kapas dan digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan kain tapis, sedangkan benang emas dipakai untuk membuat ragam hias pada tapis dengan sistim sulam.
Pada tahun 1950, para pengrajin tapis masih menggunakan bahan hasil pengolahan sendiri, khususnya untuk bahan tenun. Proses pengolahannya menggunakan sistim ikat, sedangkan penggunaan benang emas telah dikenal sejak lama.
Bahan-bahan baku itu antara lain :
  • Khambak/kapas digunakan untuk membuat benang.
  • Kepompong ulat sutera untuk membuat benang sutera.
  • Pantis/lilin sarang lebah untuk meregangkan benang.
  • Akar serai wangi untuk pengawet benang.
  • Daun sirih untuk membuat warna kain tidak luntur.
  • Buah pinang muda, daun pacar, kulit kayu kejal untuk pewarna merah.
  • Kulit kayu salam, kulit kayu rambutan untuk pewarna hitam.
  • Kulit kayu mahoni atau kalit kayu durian untuk pewarna coklat.
  • Buah deduku atau daun talom untuk pewarna biru.
  • Kunyit dan kapur sirih untuk pewarna kuning.
Pada saat ini bahan-bahan tersebut diatas sudah jarang digunakan lagi, oleh karena pengganti bahan-bahan diatas tersebut sudah banyak diperdagangkan di pasaran.

[sunting] Peralatan tenun kain tapis

Proses pembuatan tenun kain tapis menggunakn peralatan-peralatan sebagai berikut :
  • Sesang yaitu alat untuk menyusun benang sebelum dipasang pada alat tenun.
  • Mattakh yaitu alat untuk menenun kain tapis yang terdiri dari bagian alat-alat :
  • Terikan (alat menggulung benang)
  • Cacap (alat untuk meletakkan alat-alat mettakh)
  • Belida (alat untuk merapatkan benang)
  • Kusuran (alat untuk menyusun benang dan memisahkan benang)
  • Apik (alat untuk menahan rentangan benang dan menggulung hasil tenunan)
  • Guyun (alat untuk mengatur benang)
  • Ijan atau Peneken (tunjangan kaki penenun)
  • Sekeli (alat untuk tempat gulungan benang pakan, yaitu benang yang dimasukkan melintang)
  • Terupong/Teropong (alat untuk memasukkan benang pakan ke tenunan)
  • Amben (alat penahan punggung penenun)
  • Tekang yaitu alat untuk merentangkan kain pada saat menyulam benang emas.

Saung Angklung Udjo

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Angklung Orkestra: Salah satu bagian pertunjukan di Saung Angklung Udjo
Saung Angklung Udjo (SAU) adalah suatu tempat workshop kebudayaan, yang merupakan tempat pertunjukan, pusat kerajinan tangan dari bambu, dan workshop instrumen musik dari bambu. Selain itu, SAU mempunyai tujuan sebagai laboratorium kependidikan dan pusat belajar untuk memelihara kebudayaan Sunda dan khususnya angklung.
Didirikan pada tahun 1966 oleh Udjo Ngalagena dan istrinya Uum Sumiati, dengan maksud untuk melestarikan dan memelihara seni dan kebudayaan tradisional Sunda. Berlokasi di Jln. Padasuka 118, Bandung Timur Jawa Barat Indonesia.
Dengan suasana tempat yang segar udaranya dan dikelilingi oleh pohon-pohon bambu, dari kerajinan bambu dan interior bambu sampai alat musik bambu.
Disamping pertunjukan rutin setiap sore, Saung Angklung Udjo telah berkali-kali mengadakan pertunjukan khusus yang dilakukan pada pagi atau siang hari. Pertunjukkan tersebut tidak terbatas diadakan di lokasi Saung Angklung Udjo saja, tetapi berbagai undangan tampil di berbagai tempat baik di dalam maupun di luar negeri, pada bulan Agustus tahun 2000 di Sasana Budaya Ganesha ITB, Bandung, Saung Angklung Udjo mengadakan konser kolaborasi dengan penyanyi cilik yang dijuluki Shirley Temple-nya Indonesia, yaitu Sherina.
Saung Angklung Udjo tidak terbatas pada hanya menjual seni pertunjukan saja, berbagai produk alat musik bambu tradisional (angklung, arumba, calung dan lainnya) dibuat dan dijual kepada para pembeli.

Kasongan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Kasongan adalah nama daerah tujuan wisata di wilayah kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta yang terkenal dengan hasil kerajinan gerabahnya. Tempat ini tepatnya terletak di daerah pedukuhan Kajen, desa Bangunjiwo, kecamatan Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, (~ S 7.846567° - E 110.344468°) sekitar 6 km dari Alun-alun Utara Yogyakarta ke arah Selatan.

[sunting] Sejarah

Kasongan mulanya merupakan tanah pesawahan milik penduduk desa di selatan Yogyakarta. Pada Masa Penjajahan Belanda di Indonesia, di daerah pesawahan milik salah satu warga tersebut ditemukan seekor kuda yang mati. Kuda tersebut diperkirakan milik Reserse Belanda. Karena saat itu Masa Penjajahan Belanda, maka warga yang memiliki tanah tersebut takut dan segera melepaskan hak tanahnya yang kemudian tidak diakuinya lagi. Ketakutan serupa juga terjadi pada penduduk lain yang memiliki sawah di sekitarnya yang akhirnya juga melepaskan hak tanahnya. Karena banyaknya tanah yang bebas, maka penduduk desa lain segera mengakui tanah tersebut. Penduduk yang tidak memiliki tanah tersebut kemudian beralih profesi menjadi seorang pengrajin keramik yang mulanya hanya mengempal-ngempal tanah yang tidak pecah bila disatukan. Sebenarnya tanah tersebut hanya digunakan untuk mainan anak-anak dan perabot dapur saja. Namun, karena ketekunan dan tradisi yang turun temurun, Kasongan akhirnya menjadi Desa Wisata yang cukup terkenal.
Sejak tahun 1971-1972, Desa Wisata Kasongan mengalami kemajuan cukup pesat. Sapto Hudoyo (seorang seniman besar Yogyakarta) membantu mengembangkan Desa Wisata Kasongan dengan membina masyarakatnya yang sebagian besar pengrajin untuk memberikan berbagai sentuhan seni dan komersil bagi desain kerajinan gerabah sehingga gerabah yang dihasilkan tidak menimbulkan kesan yang membosankan dan monoton, namun dapat memberikan nilai seni dan nilai ekonomi yang tinggi. Keramik Kasongan dikomersilkan dalam skala besar oleh Sahid Keramik sekitar tahun 1980an.

[sunting] Desa Wisata

Hasil kerajinan dari gerabah yang diproduksi oleh Kasongan pada umumnya berupa guci dengan berbagai motif (burung merak, naga, bunga mawar dan banyak lainnya), pot berbagai ukuran (dari yang kecil hingga seukuran bahu orang dewasa), souvenir, pigura, hiasan dinding, perabotan seperti meja dan kursi, dll. Namun kemudian produknya berkembang bervariasi meliputi bunga tiruan dari daun pisang, perabotan dari bambu, topeng-topengan dan masih banyak yang lainnya. Hasil kerajinan tersebut berkualitas bagus dan telah diekspor ke mancanegara seperti Eropa dan Amerika. Biasanya desa ini sangat ramai dikunjungi oleh wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta.

Jasu

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Sulaman lencana (Hyungbae)
Jasu atau Sulaman Korea (자수;刺繡) adalah jenis kerajinan sulaman yang berasal dari Korea.[1] Teknik membuat jasu (jasujang) diperkenalkan dari Cina ke Korea pada masa Dinasti Goryeo dan berkembang dalam masyarakat Korea.[1] Orang Korea mengembangkan jasu untuk mendekorasi bahan tekstil dan hasil kerajinan tangan ini mencerminkan lingkungan kehidupan dan tradisi mereka.[1]
Pada masa Dinasti Goryeo, kerajinan jasu berkembang pesat dan dibedakan menjadi beberapa jenis, antara lain boksik jasu, giyong jasu, gamsang jasu, dan jasu yang berkaitan dengan agama Buddha.[1] Boksik jasu adalah jasu yang disulam untuk mempercantik pakaian dan disesuaikan dengan status dan jabatan.[1] Jenis sulaman ini hanya digunakan oleh orang-orang di istana.[1] Giyong jasu adalah jenis sulaman yang disulam pada beragam jenis perabotan di istana raja.[1] Gamsang jasu adalah jenis sulaman yang digunakan sebagai karya seni yang artistik seperti sulaman pada sekat dinding di kamar dan ruangan rumah.[1] Jasu Buddha adalah sulaman yang berhubungan dengan agama Buddha.[1]

[sunting] Pameran di Indonesia

Pameran sulaman Korea pertama kali digelar di Jakarta pada bulan Oktober 2009 di Museum Nasional.[2] Pameran tersebut dihadiri oleh seorang ahli sulaman tradisional bernama Han Sang-soo.[2] Han Sang-soo dikenal sebagai tokoh yang dianugerahi gelar aset nasional hidup nomor 80 oleh pemerintah Korea Selatan.[2

Keramik Hijau Goryeo

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Keramik Hijau Goryeo
Nama Korea
Hangeul 고려청자
Hanja 高麗靑磁
Alih Aksara yang Disempurnakan Goryeo cheongja
McCune–Reischauer Koryŏ ch'ŏngja
Goryeo cheongja atau keramik hijau Goryeo adalah jenis kerajinan keramik berwarna hijau (Bahasa Inggris:celadon) yang diciptakan pada zaman Dinasti Goryeo (935-1392) di Korea.[1][2][3][4][5][6][7] Celadon memiliki ciri khas warna biru-kehijauan karena metode pengglasiran secara khusus. Walau teknik pembuatannya diperkenalkan dari Cina, Goryeo cheongja berhasil diciptakan pengrajin Goryeo dengan gaya dan metode yang berbeda. Di Goryeo, keramik ini selain digunakan untuk perabot rumah tangga, juga dianggap sebagai karya seni bernilai yang dijual sebagai komoditas perdagangan.
Bentuk yang banyak dibuat antara lain berbagai jenis peralatan dapur dan rumah tangga, antara lain vas bunga, mangkuk, piring, teko, tempayan, cawan, pembakar dupa, kotak perhiasan, guci dan sebagainya.[4]

Daftar isi

[sembunyikan]

[sunting] Sejarah

[sunting] Awal mula di zaman Silla Bersatu

Berbagai teori dan bukti sejarah yang dikemukakan oleh para sejarawan mengenai asal-usul keramik hijau Goryeo di Semenanjung Korea antara lain kaitannya dengan produksi keramik hijau di Yuezhou, Provinsi Zhejiang, Cina selatan. Mengenai asal-usul, ada 2 teori. Teori pertama, meyakini bahwa keramik hijau pertama di Korea dibuat di abad ke-9, akhir periode Silla Bersatu (668-918). Teori kedua, keramik hijau pertama kali dibuat di pertengahan abad ke-10, masa Dinasti Goryeo.
Teori pertama paling kuat karena dibuktikan dengan penemuan berbagai jenis keramik mirip produksi Yuezhou di situs tungku pembakaran di pesisir barat Korea. Di masa itu, Goryeo dipengaruhi Tang dalam berbagai bidang, yaitu agama Buddha, seni budaya, termasuk kerajinan keramik.Pengrajin keramik hijau dan putih di zaman akhir Silla Bersatu semakin kreatif menciptakan berbagai bentuk baru namun tak ada dekorasi.

[sunting] Periode Goryeo dan masa keemasan

Berlanjut ke pemerintahan Goryeo yang baru, metode ukir intaglio, relief, glasir besi, dan tatahan putih dipergunakan. Pengaruh khas Goryeo masih belum nampak karena masih meniru cara Cina untuk keramik pot, botol, dan vas maebyeong.
Warna hijau keramik masih cukup gelap kadang-kadang kuning karena proses bakar dalam tungku. Tapi lapisannya semakin tipis dan lebih tahan lama, menunjukkan adanya kemajuan dalam metode pembuatan.
Di pertengahan abad ke-11, Goryeo sudah cukup makmur untuk mengatur negerinya sendiri. Guna membuat keramik yang lebih bernilai pabrik-pabrik di pantai timur dan selatan ditutup dan pusat produksi pindah ke pesisir barat dekat ibukota, khususnya ke Provinsi Jeolla. Dua daerah penting, Kecamatan Taegu, Kabupaten Gangjin dan Kecamatan Boan dan Kecamatan Chinso di Kabupaten Buan merupakan pusat produksi keramik yang dikelola secara khusus oleh pemerintah.
Keramik Cina masih jadi barang dagang di Goryeo sampai abad ke-12, antara lain keramik hijau Yaozhou Cina utara, keramik Ci-zhou dari Guangdong, keramik Ding, Jingdezhen, dan Xiuwu. Perabot-perabot ini menginspirasi produksi keramik Goryeo dari segi bentuk yang semakin bermacam-macam.
Pada masa pemerintahan Raja Injong (raja ke-17), pengrajin Goryeo mulai menemukan gaya khusus tahap demi tahap. Mulai tahun 1123 sampai 100 tahun berikutnya, disebut sebagai zaman kejayaan keramik hijau Goryeo saat banyak hasil karya bermutu tinggi diciptakan.
Hasil karya pengrajin Goryeo ditunjukkan dengan glasir keramik yang lebih transparan, jernih dan terang untuk menampilkan permukaan ukir-ukiran dan pola yang lebih ramai dan rumit. Sementara keramik hijau Cina berglasir lebih gelap sehingga menambahkan pola cukup sulit dilakukan.
Warna hijau batu giok yang didamba-damba pengrajin Goryeo pun sudah berhasil diciptakan dan menarik perhatian warga Cina dimana-mana. Xu Jing, utusan Huizong dari Song Utara menulis pengalamannya berkunjung ke Korea dalam buku Gaoli Tujing (Perjalanan utusan ke Goryeo) tahun 1123:
Rakyat Goryeo suka warna hijau batu giok. Cara membuatnya semakin maju dan glasirnya jadi lebih cantik...Mereka meniru keramik Ding...Di antara semuanya, pembakar dupa berbentuk singa yang paling unik dan semua keramik itu berwarna hijau serupa keramik dari Yue-zhou dan Ru-zhou.
Dalam buku Xiu Zhong Jin, Taiping Laoren menulis "keramik hijau Goryeo punya warna hijau tercantik di dunia".
Di antara jenis keramik hijau Goryeo yang paling dikagumi adalah sanggam cheongja, keramik hijau tatahan. Asalnya tak jelas, tapi kemungkinan pertengahan abad 12 (1150-an) menurut penemuan mangkok keramik hijau di kuburan Mun Gong-yu yang meninggal tahun 1159.
Metode menatah sebenarnya digunakan untuk kerajinan metal didapat dari penelitan mendalam mengenai karakteristik bahan ditambah keterampilan tinggi, merupakan penemuan besar orang Goryeo. Metode sanggam membuat pola tampak bagai lukisan, memperlihatkan paduan warna-warna yang harmonis. Pola yang disukai antara lain awan dan burung jenjang, representatif corak keramik Goryeo.

[sunting] Setelah Invasi Mongol sampai akhir periode Goryeo

Pada tahun 1131, invasi bangsa Mongol ke Korea menandai periode penurunan keramik hijau. Tahun berikutnya, pemerintahan pindah ke Pulau Ganghwa menghindari pasukan Mongol sampai akhirnya menyerah tahun 1270 dan kembali lagi ke Kaesong.
Pada masa ini metode tatahan masih dipraktikkan namun kualitasnya jauh berkurang karena warna hijau terang berubah gelap dan tidak menarik lagi. Pola-pola yang sebelumnya rumit diganti dengan yang lebih sederhana, biasa, dengan permukaan terlalu kosong atau terlalu banyak sehingga tidak seimbang. Harmoni warna memburuk, terlalu gelap atau terlalu terang karena pengrajin tidak lagi mencari nilai seni. Sebagian besar dibuat antara tahun 1269-1287. Pengaruh Arab dan barat masuk lewat Yuan di tahun 1290-an memperkenalkan keramik-keramik asing. Keramik besar-besar dengan ukuran melebihi 70 cm juga diciptakan atas pengaruh Yuan bersama keramik glasir kuning dan keabu-abuan.
Di abad ke-14 (tahun 1300-an), kualitas keramik hijau semakin melenceng, kali ini glasir hampir hitam dan tatahan jadi kasar bahkan produksinya semakin banyak. Hasil turunan ini adalah dasar keramik buncheong yang diminati di masa Dinasti Joseon.
Sejak itu, dibawah kekuasaan Dinasti Yuan kerajinan keramik hijau telah kehilangan nilai dan kualitas hingga Goryeo jatuh di tahun 1391.

[sunting] Kebangkitan kembali

Setelah keruntuhan Goryeo, dan Dinasti Joseon memerintah selama 500 tahun lebih, kesenian membuat keramik hijau telah punah di Korea. Orang-orang Amerika dan Eropa yang tinggal di Korea adalah orang asing pertama yang menemukan kembali keramik hijau pada tahun 1881 di sebuah kuburan kuno di Kaesong (Korea Utara).
Lebih banyak lagi keramik hijau Goryeo yang ditemukan pada awal abad ke-20, saat Jepang membangun jalan kereta api untuk persiapan Perang Rusia-Jepang (1904-1905). Orang-orang asing ini mulai memusatkan perhatian untuk menggali harta karun keramik hijau di kuburan-kuburan kuno Goryeo di Kaesong (ibukota Goryeo) dan Pulau Ganghwa, ibukota darurat saat Korea diduduki bangsa Mongol.
Terdapat banyak upaya menghidupkan kembali kesenian keramik hijau Goryeo yang sudah punah, diantaranya berhasil dilakukan oleh seniman-seniman keramik di Korea Selatan, seperti Ko-Chung (Ji Jae-Seob) dan Chon-Jin pada tahun 1950-an.[8] Kebanyakan di antara mereka kini dihargai oleh pemerintah sebagai aset nasional, seperti Ji Jae-seob.[8] Sebagian besar kerajinan keramik hijau Goryeo yang diproduksi pada saat ini berasal dari rekonstruksi cara-cara lama dan tungku pembakaran baru di Kabupaten Gangjin, propinsi Jeolla Selatan.

[sunting] Proses pembuatan, warna dan kepercayaan

Keramik hijau diciptakan dari tanah liat dan glasir yang mengandung sedikit besi.[9] Pada saat keramik dibakar dalam tungku, besi beroksidasi menghasilkan warna hijau seperti giok. Suhu tungku dipantau antara 1250°C dan 1300°C selama 24 jam untuk menjaga warna yang diinginkan pada keramik.
Warna dari keramik hijau ini ditentukan dari bahan pembuatan, antara lain kandungan besi dalam tanah liat, bahan glasir yang terbuat dari besi-oksida, mangan-oksida dan kwarsa tingkat pembakaran dalam tungku.[9] Suhu tungku umumnya berada pada atau sekitar 1150 °C dan level oksigen dalam tungku diturunkan dalam beberapa tahap pembakaran.[9]
Warna hijau yang dihasilkan oleh keramik hijau Goryeo berbeda dengan keramik hijau asal Cina. Sejak lama, kedua bangsa menganggap batu giok sebagai perhiasan bertuah dan berusaha membuat keramik dengan warna yang serupa mungkin dengan batu giok. Orang Cina menamakannya pishi (warna rahasia). Orang Goryeo berhasil menciptakan warna keramik hijau yang kebiru-biruan, agak berbeda dengan keramik Cina dan juga menjulukinya pisaek (warna rahasia).
Keramik hijau berpola burung bangau.
Karena rakyat Goryeo beragama Buddha, maka warna keramik hijau diasosiasikan dengan pemikiran Buddhisme, sehingga warna hijau yang diciptakan juga melambangkan warna nirwana.[8]
Walaupun pada saat ini kandungan bahan kimiawi tanah liat, glasir dan material lain telah dianalisa secara tepat dan proses pembakaran menjadi lebih mudah dengan peralatan moderen, para pengrajin zaman sekarang tidak mampu untuk membuat keramik hijau seperti asli. Dikatakan bahwa orang Goryeo mendedikasikan pemikiran religius mereka ke dalam keramik hijau serta mensyaratkan alasan-alasan agar keramik hijau dapat diciptakan secara sempurna. Pertama, negara harus berada dalam keadaan damai. Kedua, pengrajin harus menjaga pikiran yang jernih dan memiliki keterampilan yang baik. Ketiga, negara harus dalam kondisi bersatu. Jika semua hal ini telah terpenuhi, keramik hijau akan tercipta dengan hasil yang terbaik.

[sunting] Teknik sanggam

Tidak hanya unggul dari warna, pengrajin Goryeo menemukan teknik baru untuk menghias keramik hijau yang dinamakan sanggam gibob (metode sanggam). Metode ini baru diciptakan pada tahun 1150-an dan dinamakan juga teknik menatah (inlay technique) dengan cara mengukir bagian permukaan keramik dan mengisinya dengan tanah liat.
Prosesnya dimulai dari pengukiran dengan pisau bambu, lalu membentuk pola-pola di permukaan yang setengah kering dan mengisinya dengan tanah liat putih dan merah sebelum dibakar. Pada saat proses pembakaran, tanah liat merah berubah jadi hitam dan tanah liat putih tetap berwarna putih. Setelah pembakaran pertama, keramik diberi glasir lagi dan dibakar untuk kedua kalinya.
Sebelum ditemukannya teknik sanggam, sebagian besar keramik hijau yang dibakar mengalami keretakan walau hanya menggunakan satu jenis tanah liat. Teknik sanggam yang memerlukan beberapa jenis tanah liat mengharuskan pengrajin Goryeo mendalami secara penuh karakteristik tanah liat yang berbeda-beda dan bagaimana suhu yang tepat untuk membakarnya.
Sebelumnya, Cina telah berusaha membuat metode yang sama namun tidak berhasil, jadi mereka hanya menyapukan lukisan secara langsung ke permukaan keramik. Namun begitu, pengrajin Goryeo berhasil menciptakan keramik hijau dari beberapa jenis tanah liat dengan teknik yang pembakaran yang tepat sehingga mencegah keretakan. Hal ini tidak dilakukan oleh para pengrajin Cina.

[sunting] Tungku

Tungku yang digunakan untuk membakar keramik hijau dibuat dengan bentuk bertingkat (naik) dari batu bata dengan kemiringan tertentu untuk mengalirkan udara dan nyala api ke arah atas lewat beberapa ruangan.[4] Keramik dibakar dalam suhu 1200-1300° C, dengan tinggi 8 meter dan lebar rata-rata dari 1,2 - 1,5 meter.[4] Pada awalnya tungku hanya memiliki sebuah ruangan namun berkembang menjadi beberapa buah ruangan dan menjelang abad ke-14, tungku-tungku dibangun dengan bahan tanah liat.[4]
Artefak keramik hijau banyak ditemukan di situs kuburan dan tungku di Buan (Jeolla Utara) dan Gangjin (Jeolla Selatan).[4] Tungku-tungku sengaja dibangun dekat pesisir pantai karena memiliki banyak pasokan tanah liat bagus dan kayu bakar, selain untuk memudahkan pengiriman lewat laut.[4]

[sunting] Jenis-jenis

Berdasarkan bentuknya, terdapat beberapa jenis keramik hijau yang juga bermakna khusus:[1]:
  • Cham-wae, jenis vas yang berbentuk buah melon.[10]
  • Maebyeong, jenis vas yang berbahu lebar dan tinggi, melambangkan wanita. [11]
  • Jubyeong, jenis vas berleher langsing dan panjang, melambangkan pria.[1]
  • Kundika, jenis kendi air yang digunakan dalam ritual agama Buddha.[12]
Berdasarkan teknik pembuatannya:
  • Somun cheongja, keramik hijau biasa tanpa pola dan corak
  • Eumgak cheongja, keramik hijau pola ukiran
  • Yanggak cheongja, keramik hijau pola relief
  • Sanggam cheongja, keramik hijau tatahan
  • Yok sanggam cheongja, keramik hijau tatahan terbalik
  • Tugak cheongja, keramik hijau dekorasi terbuka
  • Sanghyong cheongja, keramik hijau figuratif berbentuk hewan atau tumbuhan
  • Cheolsa cheongja, keramik hijau glasir besi
  • Toehwa cheongja, keramik hijau berlapis
  • Cheolhwa cheongja, keramik hijau glasir besi berdekorasi
  • Hwageum cheongja, keramik hijau pola lukisan emas
  • Jinsa cheongja, keramik hijau pola tembaga

[sunting] Pola-pola

Pola-pola yang diciptakan berdasarkan Buddhisme dan kepercayaan tradisional, antara lain:[1]
  • Burung bangau, melambangkan keabadiaan atau umur panjang.
  • Lingkaran, melambangkan matahari.
  • Ikan, melambangkan realisasi yang besar.
  • Bunga teratai, melambangkan kasih Buddha.
  • Harimau, melambangkan pelindung dan kehangatan.
  • Peoni, melambangkan kekayaan dan penghargaan.
  • Naga, melambangkan keagungan.
  • Itik, melambangkan jabatan perdana menteri.
  • Bunga seruni, melambangkan kesehatan dan kesejahteraan.
  • Pohon cemara, melambangkan kerajaan dan kesetiaan.

[sunting] Artefak

Pada masa Goryeo, banyak keramik hijau yang dijadikan objek penguburan sehingga banyak peninggalan keramik hijau ditemukan utuh, terutama di wilayah Kaesong, Korea Utara.[4]
Berdasarkan Goryeosa (Babad Goryeo), Uijong yang gemar akan benda-benda seni, mempunyai sebuah pendopo beratap genteng keramik hijau di Kaesong, ibukota Goryeo pada tahun 1157. Ini dibuktikan dengan penemuan genteng-genteng serupa di situs pabrik keramik di Gangjin pada tahun 1965. Fragmen-fragmen ditemukan bersamaan dengan keramik hijau yang sudah rusak seperti pembakar dupa, kendi, teko dan cawan.
Artefak juga ditemukan dalam kuburan-kuburan Song dan Yuan di Cina yang menunjukkan minat mereka akan keramik hijau Goryeo.

[sunting] Penemuan di perairan Pulau Bian

Pada tahun 2003, ribuan keramik hijau ditemukan di kedalaman perairan Pulau Bian, Gunsan. [13] Menurut penelitian keramik hijau tersebut serupa dengan keramik hijau yang ditemukan di situs kuburan nomor 27 dan 28 di Desa Yucheon, Kabupaten Buan, sehingga artefak ini kemungkinan besar berasal dari desa Yucheon.[13] Diperkirakan pada abad ke-12, setelah diberangkatkan dari pelabuhan Julpo, Yucheon, kapal pembawa keramik tersebut menuju ibukota (Gaegyeong) atau kota lain, namun mengalami musibah di tengah laut dan karam.[13] Artefak keramik hijau ini terdiri dari berbagai jenis peralatan seperti cawan dan mangkuk yang sebagian besar berpola, kemungkinan sebelum teknik sanggam ditemukan.[13] Selain itu ciri-cirinya adalah kasar dan tidak elegan, yang menunjukkan bahwa peralatan ini dibuat oleh pengrajin biasa.[13]

[sunting] Penemuan di perairan Taean

Pada tanggal 18 Mei 2007, seorang nelayan bernama Kim Yeong-cheol berlayar ke perairan Pulau Daeseom, dekat wilayah Taean di Provinsi Chungcheong Utara untuk menangkap gurita.[14] Dari sana ia menemukan seekor gurita yang menjepit piring keramik hijau Goryeo.[14] Penemuan yang tidak disengaja ini mengarah kepada pencarian bangkai kapal Goryeo yang mengangkut keramik hijau dan dalam program yang dinamakan Proyek Taean.[14]
Sebagian besar artefak yang ditemukan adalah keramik hijau namun beberapa perabotan lain juga ditemukan.[14] Walaupun berbeda pola dan warna, seluruh keramik hijau yang ditemukan kemungkin diproduksi pada abad ke-12 di Kabupaten Gangjin, Jeolla Selatan, yang merupakan pusat produksi saat itu.[14] Barang-barang yang ditemukan merupakan keramik yang berkualitas tinggi yang mengindikasikan bahwa perabotan tersebut diproduksi untuk istana atau kaum bangsawan.[14]

[sunting] Harta nasional

[sunting] Harta Nasional Nomor 68

Pada saat penjajahan Jepang pada tahun 1910, banyak karya seni keramik hijau yang dibawa dan dikoleksi oleh kolektor barang antik Jepang.[8]
Keramik hijau tipe Maebyeong, Harta Nasional Nomor 68.
Cheongja-unhak-sanggam-mun-maebyeong adalah sebuah jenis maebyeong yang dikenal sebagai keramik hijau sanggam paling bermutu sehingga dijadikan sebagai Harta Nasional Korea Selatan Nomor 68.[15] Maebyeong ini berukuruan tinggi 42,1 cm yang membuatnya sebagai vas keramik hijau antik terbesar di Korea.[15] Di permukaannya diberi ilustrasi burung bangau yang dikelilingi lingkaran hitam dan putih.[15] Pola burung bangau berwarna putih dan mata serta sayap dan kakinya berwarna hitam.[15] Keramik ini pernah menjadi koleksi Chun Hyung-pil.[15] Chun membeli keramik ini seharga 20.000 Won dari seorang broker Jepang di tahun 1935.[15] Kini, keramik ini tersimpan di Museum Seni Gansong di Seoul.[15]

[sunting] Kutipan mengenai keramik hijau Goryeo