Kamis, 03 Maret 2011

KAYU SENGON

PEMANFAATAN KAYU SENGON

Secara tradisional, kayu jeungjing di Jawa Barat banyak digunakan sebagai bahan ramuan rumah: papan-papan, kasau, balok, tiang dan sebagainya. Di Maluku, pada masa lalu kayu jeungjing biasa digunakan sebagai bahan pembuatan perisai karena sifatnya yang ringan, liat dan sukar ditembus.[2]

Kini kayu jeungjing biasa digunakan untuk pembuatan papan, peti-peti pengemas, venir, pulp (bubur kayu), papan serat (fiber board), papan partikel (particle board), papan lapis (blockboard), korek api, kelom (alas kaki) dan kayu bakar.[2]

Jeungjing juga kerap ditanam sebagai tanaman hias, pohon peneduh dan pelindung di perkebunan, pengendali erosi, pupuk hijau, serta sebagai penghasil kayu bakar. Daun-daunnya dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak (ayam dan kambing). Pepagannya menghasilkan zat penyamak, yang digunakan sebagai ubar jala.[1][3]

Anak jenis dan kerabat dekat

Paraserianthes falcataria memiliki tiga anak jenis[1]:

  • P.f. falcataria, aslinya menyebar di Maluku dan Papua
  • P.f. salomonensis Nielsen, dari Kepulauan Solomon
  • P.f. fulva (Lane-Poole) Nielsen (sinonim: Albizia fulva Lane-Poole dan Albizia eymae Fosberg), dari pegunungan Papua.

Jeungjing dibawa ke Kebun Raya Bogor oleh J. Teijsmann dari Pulau Banda dan sejak tahun 1871 tanaman ini mulai menyebar ke berbagai wilayah di Nusantara.[3] Sekarang jeungjing telah ditanam di pelbagai negara tropis, terutama untuk produksi kayunya.

Di Papua Nugini bagian tenggara, didapati jenis Paraserianthes pullenii (Verdc.) Nielsen. Pohon ini kemungkinan menghasilkan kayu yang serupa dengan P. falcataria.[1] Kemlandingan gunung (Paraserianthes lophanta (Willd.) Nielsen) adalah pohon kecil yang ditemukan menyebar di pegunungan-pegunungan di Sumatra, Jawa, Bali, Lombok dan Flores, dan melompat ke Australia barat daya. [5]

Ekologi dan silvikultur

Tegakan jeungjing di Darmaga, Bogor

Habitat asli P. falcataria adalah hutan-hutan primer, namun kemudian sering ditemui di hutan sekunder dan dataran banjir di tepian sungai, serta kadang-kadang di hutan pantai.[1]

Jeungjing cocok di tempat yang beriklim basah hingga agak kering, mulai dari dataran rendah hingga ke pegunungan pada ketinggian 1.500 m dpl. Pohon ini dapat tumbuh pada tanah yang tidak subur, tanah becek maupun yang agak asin.[2]

Permudaan alami jarang terjadi karena bijinya sukar tumbuh. Sebelum disemaikan, biji jeunjing perlu disiram air mendidih dan dibiarkan terendam selama 24 jam. Setelah itu dapat disemaikan dalam bedengan, dan dipindahkan ke lapangan setelah berumur 2-3 bulan. Anakan pohon di atas 3 bulan dapat dipindahkan dalam bentuk stump.[2]

Biji-biji jeungjing cukup dikeringkan di udara selama 10-15 hari sebelum kemudian disimpan. Penyimpanan yang baik dalam wadah yang kering dan tertutup dapat mempertahankan daya tumbuh benih hingga setahun.[2]

Jeungjing umum ditanam dalam jarak 2m × 2m hingga 4m × 4m. Untuk keperluan produksi kayu, tegakan ini pada umur 4-5 tahun kemudian dijarangi menjadi 250 batang perhektare; dan pada umur 10 tahun menjadi 150 batang/ha. Penebangan biasa dilakukan setelah tegakan berumur 12-15 tahun. Selain itu perlu pula dilakukan pemangkasan, karena jeungjing cenderung bercabang 2-3, yang kurang baik bagi produksi kayu. Untuk produksi pulp, jeungjing biasa dipanen lebih awal, yakni pada umur 8 tahun.[1]

Tumbuh dengan cepat, pada rotasi tebangan 8-12 tahun riap volume rata-rata tahunan kayu jeungjing adalah antara 25-30 m³/ha. Pada tanah-tanah yang subur di Indonesia, riap ini bahkan dapat mencapai 50-55 m³/ha/tahun.[1]

Jeungjing juga sering ditanam dalam bentuk wanatani, bercampur dengan aneka komoditas lain[1], termasuk padi ladang, cabai, kapulaga, hingga ke salak pondoh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar